Kamis, 30 Januari 2014

“Rock in di Bromo”, Mungkinkah?





Tiba-tiba saja saya tergelitik untuk menulis artikel ini setelah membaca berita di media online tentang rencana digelarnya kembali festival musik “Rock in Rio” tanggal  15 s/d 22 September 2013. Seketika itu juga ingatan saya terbawa mundur 3 (tiga) tahun kebelakang  saat saya berkesempatan bertemu dan mewawancarai salah satu musisi terhebat yang dimiliki negeri ini,  Ahmad Dhani.
Saya coba membongkar kembali arsip foto saat masih bertugas sebagai jurnalis pemerintah daerah, dan Alhamdulillah moment-moment  yang saya abadikan ketika itu, tepatnya 6 Juli 2010, masih tersimpan rapi di flashdisk.
Lantas apa kaitannya Rock in Rio dengan Ahmad Dhani? Apa kaitannya pula dengan Gunung Bromo yang ada di Probolinggo? Begini ceritanya.
Pagi itu saya bersama 2 (dua) orang pejabat yang membidangi pariwisata dan pencitraan daerah bertugas ke Bromo untuk bertemu sekaligus mewawancarai Ahmad Dhani. Saat itu Dhani datang ke Bromo bersama ketiga putranya Al, El dan Dul serta beberapa kru yang ia bawa dari Jakarta. Selain untuk berlibur, kesempatan ke Bromo ia gunakan juga untuk shooting video klip.
Saya ingat betul pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB mas Dhani langsung menemui kami di lobby hotel tempatnya menginap dengan wajah yang fresh. Setelah memperkenalkan diri kami pun larut dalam obrolan serius tapi santai.
Di tengah obrolan Dhani sempat melontarkan angan-angannya untuk menggelar parade atau festival  musik di Lautan Pasir Bromo yang terbentang di hadapan kami. Memang lobby hotel berhadapan langsung dengan Gunung Bromo dan lautan pasirnya yang sangat luas itu.
Tiba-tiba memori di otak saya ketika itu nyambung ke “Rock in Rio” yang pernah saya baca di majalah. Langsung saja secara spontan saya nyletuk : “Festival seperti Rock in Rio Mas?”. Mendengar itu Dhani terkejut dan langsung menanggapi : “Ya betul, seperti itu. Wah hebat, bisa tau Rock in Rio,” ujarnya setengah kaget.
Mungkin bagi Dhani aneh saja ada aparatur di daerah yang jauh dari ibukota bisa ngerti festival musik sekeren Rock in Rio. Padahal, meskipun hidup di daerah saya tak pernah ketinggalan mengikuti perkembangan musik dunia dan segala jenis festivalnya seperti Summerfest , Lollapaloosa hingga Woodstock.
Perbincanganpun berlanjut. Menurut Dhani, gunung Bromo merupakan aset nasional yang sudah mendunia namun justru masih banyak orang Indonesia sendiri yang belum pernah kesana. "Masih banyak juga orang Jakarta yang belum pernah ke Bromo," keluhnya.
Oleh karena itu, untuk menambah daya tarik dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki Bromo terlontar ide menggelar konser musik di lautan pasir. “Selama ini masih belum ada konser yang digelar di lautan pasir seperti Gunung Bromo,” ujarnya.
Perbincangan itupun berubah menjadi diskusi yang cukup hangat. Salah seorang pejabat daerah yang membidangi pariwisata sependapat dengan Dhani. Memang perlu dilakukan upaya lain dari yang lain untuk lebih memperkenalkan Bromo ke dunia internasional seperti menggelar festival musik di lautan pasir. Namun tentunya banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebab ini juga menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial budaya serta adat istiadat masyarakat setempat.
Memang tak semudah itu menggelar festival musik di lokasi yang masih dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Banyak aturan berupa nilai-nilai dan norma yang berkaitan langsung dengan kepercayaan masyarakat. Di tempat ini juga tiap tahunnya digelar upacara adat Yadnya Kasada oleh masyarakat Hindu Tengger.
Selain alasan kultur, kondisi alam dan letak Gunung Bromo serta lautan pasirnya sepertinya akan menjadi tantangan tersendiri jika ide tersebut benar-benar akan diwujudkan. Untuk menggelar festival musik sebesar Rock in Rio tentu diperlukan peralatan  pendukung yang sangat banyak, besar dan tentu sangat berat. Sedangkan fasilitas penunjang seperti jalan untuk sampai kelokasi masih belum memadai jika harus dilewati kendaraan berat. Apalagi Bromo dan sekitarnya saat ini baru saja berbenah dan bangkit setelah mengalami erupsi beberapa waktu lalu.
Tapi bukan berarti angan-angan untuk menggelar konser di lautan pasir menjadi tak mungkin. Tak ada yang tak mungkin jika semua pihak yang berkepentingan mau duduk bersama mencari solusi terbaik yang  sama-sama menguntungkan. Dengan pemikiran jernih dan niat baik untuk kepentingan bersama serta dengan tetap menghormati kearifan lokal, cita-cita menggelar petunjukan musik di lautan pasir Bromo bukanlah isapan jempol belaka.
Setidaknya masyarakat dan pemangku kepentingan setempat sudah mulai terbuka ketika Gunung Bromo dan Lautan Pasir dijadikan lokasi shooting beberapa film, sinetron dan iklan hingga video clip. Beberapa kali telah digelar festival musik jazz bertajuk “Jazz Gunung” di lokasi yang hanya beberapa kilometer dari Lautan Pasir. Bahkan bulan September tahun ini juga akan digelar kembali Jazz on Bromo yang lokasinya justru sangat dekat  dan mengambil background Gunung Bromo meskipun tidak di lautan pasirnya.
Demikian ulasan tentang hubungan Rock in Rio, Bromo dan Ahmad Dhani berdasarkan memori perbincangan saya dengan salah satu juri dan mentor X Factor Indonesia itu. Semoga kita dapat terus memajukan dan menduniakan musik nasional sambil memperkenalkan kekayaan alam yang kita miliki, tentunya dengan tetap menghormati kearifan lokal serta warisan budaya nenek moyang yang bernilai tinggi. 
Ucapan terimakasih dan permohonan maaf juga untuk mas Ahmad Dhani, jika ada yang kurang berkenan dalam tulisan ini dan mungkin saya terlambat 3 (tiga) tahun menuangkannya dalam bentuk artikel seperti yang saya tulis ini. (Probolinggo, 11 Apri 2013)

Rabu, 29 Januari 2014

Seperti Kita, Ibu Negara juga Manusia



Beberapa hari terakhir berbagai media dan jejaring sosial ramai dengan pemberitaan dan diskusi seputar komentar Ibu Negara Kristiani Herrawati Yudhoyono (Ani Yudhoyono) di akun Instagramnya. Yang terbaru adalah tentang kepemilikan kamera dan seputar banjir di Jakarta. Dua topik ini yang cukup hangat dibicarakan sebab mendapat respon cukup tegas dari Ibu Ani. Seperti biasanya, masih banyak komentar-komentar dari followers Instagram menanggapi foto-foto yang diunggahnya. Tentunya selalu ada komentar yang positif dan tak sedikit pula bernada menyidir bahkan menyudutkan.
Seperti banyak diberitakan, Selasa (14/1) Ibu Ani mengunggah foto cucunya Airlangga Satriadhi Yudhoyono di akun Instagramnya. Foto ini kembali mendapat beragam komentar dari pengikutnya. Satu komentar yang sebetulnya sama sekali tak ada hubungannya dengan foto yang diunggah tersebut membuat Ibu Ani gusar.
Akun zhafirapsp berkomentar : “Di saat rakyatnya yang sedang kebanjiran, Ibu Ani malah sibuk dengan akun instagramnya”. Ibu Ani langsung membalas komentar tersebut dengan mempertanyakan kebaradaan istri Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. “Lho, Ibu Jokowi dan Ibu Ahok ke mana ya? Kok saya yang dimarahi”, balas Ibu Ani beberapa saat kemudian.
Komentar yang saling berbalas ini mendapat respon dari followers yang lain. Banyak juga yang membela bahwa bermain Instagram adalah hak setiap orang termasuk Ibu Negara, bisa jadi juga foto yang diunggah tersebut diambil jauh hari sebelum banjir melanda Ibukota.
Berikutnya Jum’at (17/1) yang lalu, foto hasil bidikannya yang menampilkan tiga kuda di atas lapangan rumput mendapat respon dari pemilik akun @adhityaanp yang lagi-lagi bukan tentang foto yang diunggah, melainkan tentang kamera yang digunakan untuk mengambil gambar tersebut. “Ini kamera yg ibu pake buat foto di instagram, punya pribadi atau puny negara bu?”, tanya akun itu.
Ibu Ani pun langsung menjawab dengan tegas, "@adhityaanp Pertanyaan Anda agak keterlaluan, tapi akan saya jawab biar gamblang. Yang dipakai oleh biro pers, kemungkinan punya negara. Kalau yang dipakai saya tentu milik pribadi. Ingat jauh sebelum jadi Ibu Negara, pada tahun 1976 saya mendapat hadiah perkawinan sebuah tustel dari ortu. Paham?”
Mengunggah foto dan saling bersahutan komentar di Instagram saat ini adalah suatu hal yang sangat umum dan bukan merupakan hal yang aneh lagi. Demikian pula dengan jejaring sosial yang lain seperti Twitter atau Facebook. Adalah hal yang wajar, bahkan suatu keniscayaan terjadi sahut menyahut komentar entah itu positif maupun negatif di dunia maya yang tak mengenal batas. Menjadi aneh dan ketinggalan jaman jika seseorang di jaman ini tak memiliki satu akun di jejaring sosial. Siapapun bisa, boleh dan sangat berhak untuk menjelajah dan berinteraksi di dunia maya.
Demikian pula dengan istri Presiden seperti Ibu Ani Yudhoyono, adalah hal yang sangat wajar bahkan menjadi suatu keharusan memanfaatkan jejaring sosial sebagai media untuk lebih mendekatkan diri dengan rakyat sekaligus sebagai saluran komunikasi langsung yang efektif. Tentunya pemilihan jejaring sosial apa yang lebih intens dimanfaatkan disesuaikan dengan aktivitas yang disukai, dan Ibu Ani memilih Instagram yang berbanding lurus dengan hobbynya seputar fotografi.
Lewat Instagram, mungkin saja Ibu Ani ingin berbagi pengalaman dan pengetahuannya seputar fotografi. Jika diperhatikan, tak hanya sekedar mengunggah dan memberikan caption pada setiap foto yang diunggah, namun Ibu Ani juga mencantumkan jenis kamera yang dipakai hingga detail tehnik pengambilan gambar yang saya sendiri masih awam tentang hal itu. Nampak sekali penguasaan tehnik fotografi Ibu Ani yang sudah diatas rata-rata.
Sebagai pecinta fotografi tentu sangat wajar jika di beberapa kesempatan Ibu Ani mengabadikan momen-momen yang menurutnya menarik dan memiliki nilai estetika fotografi tinggi. Maka sangat wajar juga jika Ibu Ani mengabadikan momen-momen indah dalam keluarga lewat jepretan kamera, baik olehnya sendiri atau lewat juru foto kepresidenan. Sebagai pecinta fotografi, Ibu Ani sudah pasti punya insting dan hasrat untuk mengabadikan momen-momen tersebut dan kemudian membaginya kepada kita semua lewat akun Instagramnya.
Wajar dan menjadi haknya juga untuk mengotak-atik akun instagramnya, berbagi foto-foto hasil jepretannya dan kemudian berdiskusi bersama para followersnya. Dengan kemajuan teknologi, itu semua bisa dilakukan kapan saja, dimana saja dan dalam situasi bagaimanapun. Hanya butuh beberapa klik, jadilah apa yang sedang kita pikirkan atau apa yang ingin kita share terekspose di dunia maya.
Termasuk saat Ibu Ani mengunggah foto Airlangga ketika Jakarta sedang banjir. Sebenarnya tak ada yang salah dengan pengunggahan foto tersebut. Wajar seorang nenek mengunggah foto sang cucu yang sangat disayanginya. Tapi mungkin waktu pengunggahan foto saat banjir itu yang dikritik oleh segelintir followernya. Namun jika mau jujur, di saat bersamaan ketika Jakarta banjir pasti banyak juga yang sedang melakukan aktivitas serupa, berselancar dan bercanda ria di jejaring sosial. Bahkan si pengkritik mungkin tak sadar, justru dia sendiri sedang bermain-bermain di jejaring sosial dengan memberikan komentar di akun Instagram Ibu Ani di saat lingkungan sekitarnya kebanjiran.
Reaksi Ibu Ani dengan menyebut nama istri Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah ungkapan kekesalan yang sangat manusiawi. Bahkan Wagub DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menganggap hal tersebut wajar. Menurutnya urusan banjir di Ibukota adalah urusan Bu Jokowi dan Bu Ahok, bukan Ibu Negara. Ahok juga meluruskan bahwa urusan banjir di Jakarta adalah tugas pemerintah daerah.
Ibu Ani wajar kesal sebab dirinya dianggap tak peduli pada banjir yang terjadi di Jakarta dan sibuk bermain Instagram. Padahal sebetulnya, bentuk kepedulian itu tak harus selalu dipublikasikan sehingga semua tahu, tak harus nyemplung ke kali yang banjir sehingga semua bisa melihat. Bisa jadi kepedulian itu sudah disampaikan tanpa banyak orang tahu, atau juga telah dilakukan melalui mekanisme yang ada lewat pendelegasian tugas kepada pihak yang membidangi.
Demikian juga tentang komentar mengenai kepemilikan kamera. Sebenarnya Ibu Ani sebagai Ibu Negara tak perlu merespon pertanyaan yang sebenarnya juga tak perlu ditanyakan itu. Siapa saja bisa memiliki kamera digital mulai pocket hingga kamera DSLR tercanggih asalkan punya dana untuk membelinya. Apalagi bagi pecinta fotografi, memiliki kamera yang layak untuk mendukung hobby adalah suatu keharusan. Lucu jika masih ada yang bertanya kepemilikan kamera yang dipakai Ibu Ani. Untuk pertanyaan yang satu ini sudah dijelaskan oleh Ibu Ani di akun Instagramnya, bahkan dengan penekanan kata “paham?” di akhir kalimat.
Seperti halnya kita, Ibu Ani sebagai Ibu Negara juga manusia dengan segala keterbatasannya. Ibu Ani juga bisa kesal, kecewa bahkan marah jika ada sesuatu hal yang mengusik pikiran dan perasaannya. Apalagi Ibu Ani adalah anak tentara yang sudah pasti dididik disiplin, tegas dan tanggap sejak masih anak-anak. Hal itu juga yang rupanya membuatnya demikian responsif  setiap kali ada  komentar yang “mengganggu”.
Mungkin ada baiknya Ibu Ani seperti Presiden SBY dalam menghadapi berbagai komentar para followersnya. Jika diperhatikan, banyak juga komentar negatif yang menyudutkan ditujukan kepada Presiden SBY lewat akun Twitternya @SBYudhoyono. Namun Presiden SBY tak menanggapi semua itu. Dalam bukunya “Selalu Ada Pilihan” Presiden SBY berbagi resep untuk bisa bertahan adalah harus tenang dan sangat sabar. Jadi bukan hanya sabar tapi sangat sabar.
Ibu Ani pasti sudah banyak bersabar menanggapi komentar followers dan pemberitaan di berbagai media. Hanya untuk hal-hal yang dianggapnya sudah keterlaluan saja, Ibu Ani reaktif langsung memberikan respon tegas. Dan ini merupakan hal yang wajar, tapi harus diperhatikan juga posisinya sebagai Ibu Negara yang sudah pasti selalu menjadi sorotan. Sekecil apapun itu, akan menjadi hal yang luar biasa dan bahan berita menarik bagi media jika yang melakukannya seorang publik figur seperti Ibu Negara.
Lebih berhati-hati dalam berkomentar atau membalas komentar followers adalah hal yang baik untuk dilakukan guna menghindari hal-hal yang bisa menjadi bahan berita dan diskusi yang nantinya justru merugikan. Pemilihan kalimat yang lebih tenang dan tak terkesan terlalu reaktif disertai alasan yang logis mungkin dapat “mendinginkan” pengkritik yang provokatif.
Jangan sampai berbagai komentar miring dan menyudutkan yang mungkin masih akan terus bermunculan mengurangi aktivitas Ibu Ani di jejaring sosial khususnya Instagram. Semoga semua ini makin memacu Ibu Ani untuk terus berkreasi memberikan karya-karya indah yang mampu memberikan pencerahan. Ibu Ani, mari tunjukkan bahwa dengan fotografi kita juga bisa selalu peduli, dan dengan Instagram kita juga dapat berbagi kebahagiaan. 

Probolinggo, 20 Januari 2014

Follow me on twitter : @Dody_Kasman




“Selalu Ada Pilihan” dari Presiden SBY



Mengawali tahun 2014 ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya hadiah istimewa untuk bangsa Indonesia. Hadiah spesial untuk generasi saat ini dan akan datang. Hadiah yang mungkin juga merupakan tanda mata sekaligus warisan berharga jelang akhir masa jabatannya, selama 2 (dua) periode masa pengabdian sebagai orang nomor satu di republik ini. Hadiah berharga yang diwujudkannya dalam bentuk sebuah buku.
Sebagaimana telah banyak diberitakan, dalam waktu dekat ini Presiden SBY akan segera melaunching buku yang ditulisnya sendiri yang berjudul “Selalu Ada Pilihan”, termasuk pemilihan judul yang menginspirasi itu. Rencana launching tersebut sebenarnya telah disampaikan Presiden SBY lewat akun twitter resminya @SBYudhoyono 2 (dua) bulan yang lalu.   
Berbeda dengan buku sebelumnya berjudul “Harus Bisa” yang ditulis oleh Dino Patti Djalal berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama menjadi Juru Bicara Kepesidenan, maka buku terbaru kali ini 100% persen merupakan hasil karya Presiden SBY berdasarkan pemikiran dan pengalamannya selama hampir 10 tahun memimpin negeri ini.
Melalui buku barunya ini Presiden SBY ingin berbagi cerita. Tentunya selama menjabat sebagai Presiden banyak kejadian mengejutkan dan diluar dugaan yang tak banyak diketahui publik dan luput dari pemberitaan media. Cerita penuh kejutan dan pengalaman berharga inilah yang coba diangkat dan dibagi oleh Presiden SBY.
Pada salah satu tweetnya (10/11/13), Presiden SBY mengibaratkan buku ini sebuah batik. “Seperti sebuah batik, buku #SAP berisi banyak titik yg dikumpulkan waktu senggang, saat subuh, menjelang tidur & di tengah perjalanan udara”, demikian ungkapnya ketika itu.
Nampaknya buku ini ditulis dan disusun di sela-sela kesibukan beliau sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dengan bantuan serta dukungan orang-orang terdekat yang setiap hari berinteraksi dengannya yang tentu saja akan membuat buku ini lebih komprehensif dan makin berwarna.
Meskipun buku ini ditulis sendiri secara pribadi oleh Presiden SBY, namun buku ini bukanlah otobiografi dan juga bukan memoar politik, melainkan refleksi pelajaran-pelajaran berharga untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kepada para pencinta demokrasi dan calon pemimpin Indonesia masa depan.
Presiden SBY adalah Presiden RI pertama yang menulis sendiri dan kemudian membukukan pengalaman berharga memimpin NKRI selama 2 (dua) periode. Melalui buku ini Presiden SBY ingin mewariskan nilai-nilai kepemimpinan yang baik untuk bekal bagi pemimpin Indonesia mendatang agar bisa lebih sukses membangun negeri.
”Buku ini saya persembahkan kpd Presiden mendatang agar lebih siap mengalami tantangan, ujian & cobaan seperti yang saya alami”, demikian tweet @SBYudhoyono (10/11/13). Dijelaskan pula bahwa melalui buku ini Presiden SBY ingin berbagi pengalaman mengikuti 2 kali Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden tahun 2004 dan tahun 2009.
Tak dapat dipungkiri, selama hampir 10 tahun memimpin, Presiden SBY telah banyak berbuat dan bertindak melunasi hutang IMF, membebaskan Indonesia dari embargo militer, menyelesiakan konflik Aceh, rekonsiliasi dengan Timor Leste, perang melawan terorisme, membangun kembali daerah bencana, menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi 2008, menegakkan demokrasi dan pembangunan di segala bidang di seluruh tanah air. Banyak juga prestasi gemilang dan pencapaian yang diakui oleh dunia internasional.
Meski demikian, sebagai manusia biasa Presiden SBY juga punya keterbatasan dan tak mungkin bisa memuaskan keinginan semua pihak yang sarat akan kepentingannya. Pasti selalu ada pihak yang tidak puas dan kecewa bahkan berusaha mencari kesalahan. “Anggaplah buku ini hak jawab saya thd gunjingan, kritik, cemooh bahkan fitnah yg saya alami selama memimpin lebih dari 9 thn ini”, ungkap Presiden SBY masih pada akun twitternya (10/11/13).
Di era demokrasi yang makin terbuka ini rakyat semakin cerdas dan kritis. Rakyat tentunya akan memilih pemimpin yang mampu menampung aspirasi mereka dan menjalankan amanat rakyat serta mau bekerja keras setulus hati. Masyarakat tak butuh janji, tapi ingin melihat bukti. Presiden yang memiliki kepemimpinan yang baik, kecakapan, visi dan keteladanan.
Buku baru karya Presiden SBY ini setidaknya dapat dijadikan referensi bagi rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin mendatang dan juga merupakan bekal berharga bagi pemimpin-pemimpin negeri ini berikutnya. Sebagai buku yang akan memperkaya khasanah literatur kepemempinan, buku ini punya nilai tinggi dan akan sangat bermanfaat bagi generasi muda penerus bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya.
Tentunya rakyat Indonesia yang cerdas, kritis dan terbuka atas kritik dan saran sudah penasaran terhadap buku “Selalu Ada Pilihan” karya Presiden SBY yang akan segera dilaunching dalam waktu dekat ini.   
  Probolinggo, 14 Januari 2014
Follow me on Twitter : @Dody_Kasman






Ber-“PickUp” Antara Tradisi & Safety



Kecelakaan maut antara pickup sarat penumpang dengan truk gandeng yang terjadi di Jl. Raya Tongas Kabupaten Probolinggo beberapa waktu lalu cukup menyita perhatian publik. Betapa tidak, 18 jiwa melayang pada peristiwa naas tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi mayoritas korban adalah ibu-ibu dan anak-anak. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara khusus menyampaikan ungkapan belasungkawa via twitter dan meminta pihak Kepolisian serta Kementerian Perhubungan untuk memastikan kecelakaan fatal seperti itu tak mudah terjadi lagi.
Pada peristiwa tersebut, pickup yang seharusnya digunakan untuk mengangkut barang justru digunakan untuk mengangkut penumpang hingga 30 orang. Bisa dibayangkan betapa sesaknya suasanya diatas pick up saat itu. Terlebih jika pengemudi membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan tak mematuhi ketentuan lalu lintas yang ada. Tanpa bermaksud menuduh siapa yang salah, dari berbagai pemberitaan di media kita bisa menyimpulkan apa yang menjadi sebab hingga terjadi kecelakaan yang berakibat fatal itu.
Saya sendiri tergugah untuk ikut memberikan sumbangan pikiran dan pendapat lewat tulisan ini, salah satu sebabnya peristiwa tersebut terjadi di daerah saya, Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo. Selain lokasi kejadian adalah jalur lalu  lintas yang sering saya lewati, ada satu hal yang cukup menarik untuk dibahas yaitu kebiasaan masyarakat setempat “ber-pickup”. Ya, pickup telah menjadi sarana angkutan orang banyak yang menjadi pilihan masyarakat pedesaan di Probolinggo, bahkan di daerah lain di Jawa Timur.
Bahkan orang nomor satu di Jawa Timur juga mengakui hal tersebut. Sebagaimana diberitakan  detikcom Senin (30/12), usai acara pengangkatan sumpah dan pelantikan Sekdaprov Jawa Timur di Surabaya, Gubernur Soekarwo menerangkan bahwa budaya mobil bak terbuka seperti pickup untuk mengangkut orang banyak sudah menjadi budaya di lingkungan pedesaan di Jawa Timur.
Oleh karena itu Pakde Karwo pada kesempatan tersebut meminta semua pihak mencari solusi agar hal serupa tak terjadi lagi. Misalnya dengan melarang dengan tegas pickup terbuka memuat manusia dan merekayasa pickup tersebut menjadi tertutup sebagai angkutan pedesaan.
Kenyataan di lapangan memang demikian termasuk di lingkungan saya tinggal dan bekerja sehari-hari. Mobil bak terbuka yang mengangkut puluhan orang sudah menjadi pemandangan umum. Mobil bak terbuka seperti pickup dan truk menjadi pilihan utama sebagai alat angkut orang dalam jumlah banyak hingga puluhan orang.
Yang paling umum dan mungkin jamak juga terjadi di daerah lain di Indonesia, penggunaan mobil bak terbuka untuk pengerahan massa seperti kampanye atau unjuk rasa. Untuk ini, truk yang yang ukurannya cukup besar menjadi alat angkut yang banyak digunakan sebab dengan biaya yang murah bisa mengangkut massa dalam jumlah besar. Umumnya, truk untuk pengerahan massa seperti kampanye dan unjuk rasa didominasi kaum pria, mulai anak-anak hingga dewasa.
Selain truk, pickup juga banyak digunakan untuk mengangkut rombongan. Meskipun daya angkutnya tak sebanyak truk, masih sering dijumpai pickup dipaksakan untuk mengangkut manusia hingga mereka harus berhimpit-himpitan sambil sesekali menahan nafas karena sempitnya ruang gerak. Tak hanya sekedar menyaksikan, bahkan saya sendiri di masa kecil sudah pernah beberapa kali menikmati sarana transportasi terbuka, murah meriah bahkan gratis itu. Tentu saja waktu itu saya numpang truk dan pickup karena iseng ingin coba-coba dan tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua.
Kebiasaan masyarakat pedesaan beramai-ramai menumpang kendaraan terbuka seperti pickup memang sudah menjadi tradisi. Bepergian rombongan naik kendaraan bak terbuka memang sudah menjadi budaya masyarakat turun temurun. Entah itu rombongan undangan pernikahan, pelayat, pengajian atau bahkan rombongan anak sekolah.
Faktor ongkos angkut menjadi salah satu penyebab mengapa mobil bak terbuka menjadi pilihan masyarakat pedesaan yang kebanyakan bermata pencaharaian petani/buruh tani. Umumnya mereka menyewa pickup dengan sistem urunan/patungan. Semakin banyak yang ikut rombongan maka akan semakin murah biaya yang harus  mereka keluarkan.
Sebagai contoh, untuk ongkos sewa pickup plus driver dari Probolinggo Pasuruan umumnya dipatok harga tertinggi Rp. 250 ribu. Jika satu pickup bisa memuat 20 penumpang, berarti tiap orang harus membayar Rp. 12.500,- jika memuat 25 orang maka biaya yang harus dikeluarkan cukup Rp. 10 ribu, bahkan jika penumpang lebih dari 20 orang akan semakin kecil biaya yang harus mereka keluarkan.
Ongkos tersebut bisa menjadi semakin murah bahkan gratis jika pickup yang digunakan milik keluarga atau tetangga salah satu peserta rombongan. Untuk yang seperti ini, mereka cukup urunan sebagai pengganti BBM saja. Biaya tersebut tentu saja sangat murah jika dibandingkan mereka harus naik kendaraan umum yang bisa jadi harus oper beberapa kali hingga sampai tujuan. Bahkan jauh sangat murah jika dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
Selain faktor biaya yang murah, ikatan persaudaraan yang sangat kuat dan semangat kebersamaan masyarakat pedesaan juga menjadi salah satu faktor mereka milih beramai-ramai naik kendaraan bak terbuka. Posisi duduk hingga berdiri yang berhimpitan tak dihiraukan dengan sesekali saling bertegur sapa, bercanda, saling “ejek” hingga saling colek.
Disamping karena murah dan faktor kebersamaan, pada kasus tertentu ada sekelompok masyarakat yang justru sangat antusias dan bersemangat ikut rombongan pickup, bahkan seperti menjadi suatu kewajiban. Contoh yang khas di Probolinggo adalah rombongan pengajian malam Jum’at Manis. Jumlahnya bisa sampai puluhan pickup memuat puluhan jama’ah didominasi kaum perempuan yang tak jarang membawa serta anak cucunya. Mereka rela dan senang hati duduk hingga berdiri berhimpitan asalkan bisa sampai lokasi pengajian dengan berbagai macam niat, tujuan dan harapannya. 
Meskipun ber-pickup sudah menjadi tradisi dan mereka melakukannya dengan suka rela dan senang hati, namun bukan berarti kita hanya memaklumi dan melakukan pembiaran yang bisa saja berujung malapetaka seperti  kecelakaan maut yang telah terjadi. Dituntut kepeduliaan dan kepekaan semua pihak untuk mencari dan menemukan solusi agar tradisi semacam itu tak lagi berujung maut.
Berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku, sebenarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas pada Pasal 303 dengan tegas menyebutkan : “Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”
Sementara alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 137 ayat (4) adalah : a. rasio kendaraan bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai ; b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
Sebelum terjadinya peristiwa kecelakaan maut di Tongas, SatLantas Probolinggo sebenarnya telah melakukan penindakan pada pickup yang mengangkut orang dan share foto pindakan tersebut di twitter. Jika diperhatikan, foto penindakan sekaligus himbauan dishare tanggal 23 Desember 2013 pukul 08.46 WIB, 5 (lima) hari sebelum kecelakaan maut terjadi. Melengkapi foto juga dicantumkan kutipan Pasal 303 UU No. 22 Tahun 2009.
Jadi undang-undang sebenarnya sudah sangat tegas mengatur peruntukan kendaraan baik untuk angkutan orang maupun untuk angkutan barang. Untuk itu pihak Kepolisian selaku penegak hukum dituntut lebih tegas dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut dan tak segan-segan memberikan tindakan jika memang ditemui pelanggaran. Disamping itu juga perlu kembali dilakukan sosialisasi yang tepat sasaran, terutama kepada pengemudi angkutan barang agar mereka paham betul peruntukan angkutannya dan resiko yang bisa ditimbulkan jika melanggar.
Sebagai orang yang paling menentukan keselamatan berkendera di jalan, pengemudi harus benar-benar paham tentang kewajibannya di jalan. Harus benar-benar tertanam kesadaran tentang pentingnya mengutamakan keselamatan diri sendiri dan orang lain tentunya diawali dengan pemahaman serta pengetahuan yang memadai tentang peraturan berlalu lintas. Untuk itu, Kepolisian selaku pihak yang berwenang harus benar-benar selektif dalam mengeluarkan ijin mengemudi.
Sementara dari pihak warga masyarakat yang sering menikmati jasa angkutan massal yang murah meriah tersebut, hendaknya lebih mementingkan keselamatan daripada ongkos angkut yang murah. Lebih baik mengeluarkan biaya lebih daripada nyawa yang harus dikorbankan. Lebih baik meletakkan sejenak tradisi yang membahayakan agar lebih safety di jalan.
Tapi jikapun karena alasan ekonomi dan tradisi yang sulit dihilangkan, ada baiknya mempertimbangkan ide Pakde Karwo untuk menjadikan angkutan bak terbuka menjadi angkutan pedesaan yang tertutup. Tentunya dengan penutup yang memenuhi standar keamanan untuk menghindari benturan langsung jika terjadi kecelakaan.
Terlepas dari perdebatan bahwa tradisi berpickup tak bisa dihilangkan namun perlu dimodifikasi atau justru harus ditinggalkan sama sekali demi alasan keselamatan, tentunya kita semua berharap peristiwa kecelakaan maut, Sabtu (28/12) yang merenggut 18 korban jiwa jangan sampai terjadi lagi. 

Probolinggo, 31 Desember 2013
 
Follow me on twitter : @Dody_Kasman