Rencana pemberian penghargaan World
Statesman Award kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) tanggal 30 Mei 2013 mendatang menimbulkan beragam reaksi. Penghargaan ini diberikan oleh Appeal
for Conscience Foundation (ACF), organisasi internasional yang
mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi dan dialog antar kepercayaan
yang bermarkas di New York.
Kalangan yang kontra beranggapan bahwa
Presiden SBY belum layak untuk menerima penghargaan tersebut sebab semasa
pemerintahannya banyak terjadi konflik antar umat beragama dan antar kelompok
dalam satu agama. Negara juga dinilai tak mampu melindungi kelompok minoritas
dalam menjalankan kepercayaannya.
Berbagai reaksi bermunculan di media
memprotes rencana pemberian penghargaan tersebut dan meminta agar AFC untuk
membatalkannya. Salah satunya adalah rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno yang menyampaikan
protes langsung ke AFC atas rencana pemberian penghargaan tersebut. Franz
Magnis keberatan jika Presiden SBY disebut berjasa memajukan toleransi sebab, menurutnya
hampir 10 tahun toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Sementara pihak yang pro menilai penghargaan
tersebut sebagai bentuk apresiasi dunia internasional terhadap keberhasilan
memelihara keurukunan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Mantan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bahkan menilai penghargaan tersebut sebagai
penghargaan bagi bangsa Indonesia, bukan perorangan.
Menurutnya, bangsa Indonesia memiliki
budaya toleransi yang sudah ada sejak jaman nenek moyang. Bahkan menurut Pak
JK, Indonesia itu selalu damai. Kalau pun muncul sejumlah konflik, itu hanya
bagian kecil. Konflik itu tidak hanya di Indonesia tapi semua negara di dunia
mengalaminya.
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Besar
Masjid New York, Ust. Shamsi Ali yang menganggap anugerah tersebut adalah
kebanggaan bagi Indonesia. Dalam surat terbukanya Imam Ali menganggap penghargaan
tersebut tidak diberikan kepada pribadi Presiden SBY, tetapi penghargaan ini
diberikan kepada negara dan bangsa Indonesia.
Menurut Imam Shamsi, penghargaan itu
adalah pelipur lara dan bahkan kebanggan bahwa ternyata ada perubahan yang
terjadi di mata dunia. Bahwa dunia semakin mengakui negara Indonesia
sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam tatanan kehidupan
antar umat beragama.
Dan yang terbaru adalah statemen Duta
Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal dalam pernyataan tertulisnya yang
dimuat di beberapa media, bahwa
penghargaan tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa karena ini merupakan
kesekian kalinya Presiden SBY menerima penghargaan internasional.
Dino menambahkan, penghargaan World
Statesman Award dari ACF menjadi kredit bagi bangsa Indonesia. Menurutnya ada
beberapa faktor yang membuat Indonesia semakin dilirik bangsa-bangsa lain.
Pertama, Indonesia kini mempunyai status yang langka sebagai negara demokrasi
yang mapan dan stabil. Kedua, Indonesia kini mempunyai rekor hak asasi manusia
yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Dan ketiga, Indonesia kini dipandang
sebagai pelopor perdamaian.
Dibalik semua polemik pro dan kontra
tersebut, sebagai warga negara yang baik sepatutnya bangga memperoleh pengakuan
internasional atas kerukunan dan toleransi di negara kita. Saya pribadi sebagai
orang daerah yang jauh dari ibu kota sangat merasakan toleransi tersebut, baik
antar sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain.
Bagi saya, di sini tak perlu
mempermasalahkan mana kelompok minoritas dan mayoritas sebab semuanya memiliki
kesadaran yang tinggi untuk saling menghormati kebebasan memeluk agama dan
menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Umat Kristiani dapat menjalankan
ibadahnya dengan aman dan tenang. Satu hal yang menarik, hampir semua tenaga
pengamanan/Satpam di beberapa Gereja dan Klenteng di Probolinggo justru orang
Islam. Meski demikian mereka tetap profesional dan dengan kesadaran penuh ikut
menjaga keamanan dan kenyamanan peribadatan saudara-saudaranya meski tak seiman.
Contoh konkrit lainnya adalah toleransi
antar umat beragama yang ditunjukkan oleh masyarakat Tengger yang hidup di
sekitar Gunung Bromo. Meskipun di Bromo mayoritas Hindu, tapi mereka sangat
menghormati penganut agama lain yang berkunjung kesana. Demikian pula jika ada
masyarakat Tengger yang memutuskan untuk menjadi menjadi Muallaf, keputusan itu
akan sangat dihargai dan dihormati. Dan terbukti masyarakat disana dapat hidup
berdampingan dengan damai.
Contoh toleransi sesama umat Islam dapat
dilihat saat penentuan 1 Syawal yang beberapa kali tidak jatuh bersamaan. Namun
masing-masing tetap menghormati perbedaan tersebut. Yang melaksanakan Sholat
Ied lebih awal dapat beribadah dengan khusu’. Demikian pula sebaliknya, mereka
yang berlebaran lebih dulu, menghormati saudaranya yang masih akan sholat Ied
keesokan harinya.
Itu semua hanya beberapa contoh kecil bahwa
sebenarnya toleransi antar umat dan antar agama di negeri ini sangat dijunjung
tinggi dan pada hakekatnya kebiasaan ini memang sudah diwariskan oleh nenek
moyang kita. Meskipun memang tak dapat dipungkiri di beberapa sudut negeri ini
masih saja terdiri gesekan dan benturan antar kelompok. Namun jika dilihat
secara nasional, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jumlah rakyat Indonesia
yang justru dapat hidup berdampingan dengan damai.
Entah disadari atau tidak, kebebasan
berekspresi saat ini jauh lebih dijamin daripada saat era orde baru dulu. Coba
saja di era orde baru, protes kebijakan pemerintah bahkan salah sebut simbol
negara saja resikonya bisa fatal, bisa-bisa belum bicara banyak saja sudah
terbungkam lebih dulu. Tapi kini? Siapapun diberi kesempatan dan dijamin
kebebasannya untuk berpendapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Dan rencana pemberian penghargaan WSA
kepada Presiden SBY tersebut patut diapresiasi. Sangat tidak sopan rasanya jika kita telah dihargai namun tidak dapat
menghargai pemberian tersebut dengan malah menolaknya. Presiden SBY bukan orang
pertama yang menerima penghargaan sejenis ini.
Jika ada yang meragukan kredibilitas dan
niat baik AFC, maka kredibilitas penerima penghargaan sebelumnya juga patut
dipertanyakan, sebut saja nama-nama terkenal seperti PM Kanada Jean Chretien,
Presiden Spanyol Jose Mara Aznar, PM Australia John Howard, Presiden Perancis
Nicolas Sarkozy, PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korsel Lee Myung-bak dan PM
Kanada Stephen Harper.
Penghargaan tersebut hendaknya dilihat
sebagai prestasi bangsa Indonesia dengan kompleksitas permasalahan yang
dihadapinya. Jangan anggap ini sebagai olok-olok kepada pemerintah, khususnya
Presiden SBY. Karena pihak pemberi adalah lembaga yang diakui secara
internasional dan para penerima terdahulu adalah tokoh-tokoh penting
internasional yang tak perlu diragukan kredibilitasnya.
Penghargaan ini hendaknya bisa menjadi
motivasi bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk membuktikan kepada
dunia internasional bahwa toleransi dan dialog antar umat beragama memang
dijamin dan berkembang dengan pesat di negeri tercinta ini. Tentunya pemerintah
harus selalu dapat menjamin keamanan dengan memberikan perlindungan baik secara
fisik maupun regulasi bagi kelompok minoritas.
Memang, saat ini kita
masih terus berbenah memperbaiki diri di tengah carut marutnya permasalahan di
dalam negeri. Namun dengan kesadaran dan usaha bersama dilandasi semangat
toleransi yang tinggi kita akan terus melangkah ke depan mewujudkan Indonesia
yang lebih baik lagi dan semakin diperhitungkan di kancah internasional.Probolinggo, 23 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar