Tiba-tiba
saja saya tergelitik untuk menulis artikel ini setelah membaca berita di media
online tentang rencana digelarnya kembali festival musik “Rock in Rio”
tanggal 15 s/d 22 September 2013.
Seketika itu juga ingatan saya terbawa mundur 3 (tiga) tahun kebelakang saat saya berkesempatan bertemu dan
mewawancarai salah satu musisi terhebat yang dimiliki negeri ini, Ahmad Dhani.
Saya
coba membongkar kembali arsip foto saat masih bertugas sebagai jurnalis
pemerintah daerah, dan Alhamdulillah moment-moment yang saya abadikan ketika itu, tepatnya 6
Juli 2010, masih tersimpan rapi di flashdisk.
Lantas
apa kaitannya Rock in Rio dengan Ahmad Dhani? Apa kaitannya pula dengan Gunung
Bromo yang ada di Probolinggo? Begini ceritanya.
Pagi
itu saya bersama 2 (dua) orang pejabat yang membidangi pariwisata dan
pencitraan daerah bertugas ke Bromo untuk bertemu sekaligus mewawancarai Ahmad
Dhani. Saat itu Dhani datang ke Bromo bersama ketiga putranya Al, El dan Dul
serta beberapa kru yang ia bawa dari Jakarta. Selain untuk berlibur, kesempatan
ke Bromo ia gunakan juga untuk shooting video klip.
Saya
ingat betul pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB mas Dhani langsung menemui kami di
lobby hotel tempatnya menginap dengan wajah yang fresh. Setelah memperkenalkan
diri kami pun larut dalam obrolan serius tapi santai.
Di
tengah obrolan Dhani sempat melontarkan angan-angannya untuk menggelar parade
atau festival musik di Lautan Pasir
Bromo yang terbentang di hadapan kami. Memang lobby hotel berhadapan langsung
dengan Gunung Bromo dan lautan pasirnya yang sangat luas itu.
Tiba-tiba
memori di otak saya ketika itu nyambung ke “Rock in Rio” yang pernah saya baca
di majalah. Langsung saja secara spontan saya nyletuk : “Festival seperti Rock in Rio Mas?”. Mendengar itu Dhani
terkejut dan langsung menanggapi : “Ya betul, seperti itu. Wah hebat, bisa tau
Rock in Rio,” ujarnya setengah kaget.
Mungkin
bagi Dhani aneh saja ada aparatur di daerah yang jauh dari ibukota bisa ngerti
festival musik sekeren Rock in Rio. Padahal, meskipun hidup di daerah saya tak
pernah ketinggalan mengikuti perkembangan musik dunia dan segala jenis festivalnya
seperti Summerfest , Lollapaloosa hingga Woodstock.
Perbincanganpun
berlanjut. Menurut Dhani, gunung Bromo merupakan aset nasional yang sudah
mendunia namun justru masih banyak orang Indonesia sendiri yang belum pernah
kesana. "Masih banyak juga orang Jakarta yang belum pernah ke Bromo,"
keluhnya.
Oleh
karena itu, untuk menambah daya tarik dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki
Bromo terlontar ide menggelar konser musik di lautan pasir. “Selama ini masih
belum ada konser yang digelar di lautan pasir seperti Gunung Bromo,” ujarnya.
Perbincangan
itupun berubah menjadi diskusi yang cukup hangat. Salah seorang pejabat daerah
yang membidangi pariwisata sependapat dengan Dhani. Memang perlu dilakukan
upaya lain dari yang lain untuk lebih memperkenalkan Bromo ke dunia
internasional seperti menggelar festival musik di lautan pasir. Namun tentunya
banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebab ini juga menyangkut hajat hidup orang
banyak dan bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial budaya serta adat
istiadat masyarakat setempat.
Memang
tak semudah itu menggelar festival musik di lokasi yang masih dianggap sakral
oleh masyarakat setempat. Banyak aturan berupa nilai-nilai dan norma yang
berkaitan langsung dengan kepercayaan masyarakat. Di tempat ini juga tiap
tahunnya digelar upacara adat Yadnya Kasada oleh masyarakat Hindu Tengger.
Selain
alasan kultur, kondisi alam dan letak Gunung Bromo serta lautan pasirnya
sepertinya akan menjadi tantangan tersendiri jika ide tersebut benar-benar akan
diwujudkan. Untuk menggelar festival musik sebesar Rock in Rio tentu diperlukan
peralatan pendukung yang sangat banyak,
besar dan tentu sangat berat. Sedangkan fasilitas penunjang seperti jalan untuk
sampai kelokasi masih belum memadai jika harus dilewati kendaraan berat.
Apalagi Bromo dan sekitarnya saat ini baru saja berbenah dan bangkit setelah
mengalami erupsi beberapa waktu lalu.
Tapi
bukan berarti angan-angan untuk menggelar konser di lautan pasir menjadi tak
mungkin. Tak ada yang tak mungkin jika semua pihak yang berkepentingan mau
duduk bersama mencari solusi terbaik yang sama-sama menguntungkan. Dengan pemikiran
jernih dan niat baik untuk kepentingan bersama serta dengan tetap menghormati
kearifan lokal, cita-cita menggelar petunjukan musik di lautan pasir Bromo
bukanlah isapan jempol belaka.
Setidaknya
masyarakat dan pemangku kepentingan setempat sudah mulai terbuka ketika Gunung
Bromo dan Lautan Pasir dijadikan lokasi shooting beberapa film, sinetron dan
iklan hingga video clip. Beberapa kali telah digelar festival musik jazz
bertajuk “Jazz Gunung” di lokasi yang hanya beberapa kilometer dari Lautan Pasir.
Bahkan bulan September tahun ini juga akan digelar kembali Jazz on Bromo yang
lokasinya justru sangat dekat dan
mengambil background Gunung Bromo meskipun tidak di lautan pasirnya.
Demikian
ulasan tentang hubungan Rock in Rio, Bromo dan Ahmad Dhani berdasarkan memori
perbincangan saya dengan salah satu juri dan mentor X Factor Indonesia itu.
Semoga kita dapat terus memajukan dan menduniakan musik nasional sambil
memperkenalkan kekayaan alam yang kita miliki, tentunya dengan tetap
menghormati kearifan lokal serta warisan budaya nenek moyang yang bernilai
tinggi.
Ucapan terimakasih dan permohonan maaf juga untuk mas
Ahmad Dhani, jika ada yang kurang berkenan dalam tulisan ini dan mungkin saya
terlambat 3 (tiga) tahun menuangkannya dalam bentuk artikel seperti yang saya
tulis ini. (Probolinggo, 11 Apri 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar