Rabu, 29 Januari 2014

Ber-“PickUp” Antara Tradisi & Safety



Kecelakaan maut antara pickup sarat penumpang dengan truk gandeng yang terjadi di Jl. Raya Tongas Kabupaten Probolinggo beberapa waktu lalu cukup menyita perhatian publik. Betapa tidak, 18 jiwa melayang pada peristiwa naas tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi mayoritas korban adalah ibu-ibu dan anak-anak. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara khusus menyampaikan ungkapan belasungkawa via twitter dan meminta pihak Kepolisian serta Kementerian Perhubungan untuk memastikan kecelakaan fatal seperti itu tak mudah terjadi lagi.
Pada peristiwa tersebut, pickup yang seharusnya digunakan untuk mengangkut barang justru digunakan untuk mengangkut penumpang hingga 30 orang. Bisa dibayangkan betapa sesaknya suasanya diatas pick up saat itu. Terlebih jika pengemudi membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan tak mematuhi ketentuan lalu lintas yang ada. Tanpa bermaksud menuduh siapa yang salah, dari berbagai pemberitaan di media kita bisa menyimpulkan apa yang menjadi sebab hingga terjadi kecelakaan yang berakibat fatal itu.
Saya sendiri tergugah untuk ikut memberikan sumbangan pikiran dan pendapat lewat tulisan ini, salah satu sebabnya peristiwa tersebut terjadi di daerah saya, Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo. Selain lokasi kejadian adalah jalur lalu  lintas yang sering saya lewati, ada satu hal yang cukup menarik untuk dibahas yaitu kebiasaan masyarakat setempat “ber-pickup”. Ya, pickup telah menjadi sarana angkutan orang banyak yang menjadi pilihan masyarakat pedesaan di Probolinggo, bahkan di daerah lain di Jawa Timur.
Bahkan orang nomor satu di Jawa Timur juga mengakui hal tersebut. Sebagaimana diberitakan  detikcom Senin (30/12), usai acara pengangkatan sumpah dan pelantikan Sekdaprov Jawa Timur di Surabaya, Gubernur Soekarwo menerangkan bahwa budaya mobil bak terbuka seperti pickup untuk mengangkut orang banyak sudah menjadi budaya di lingkungan pedesaan di Jawa Timur.
Oleh karena itu Pakde Karwo pada kesempatan tersebut meminta semua pihak mencari solusi agar hal serupa tak terjadi lagi. Misalnya dengan melarang dengan tegas pickup terbuka memuat manusia dan merekayasa pickup tersebut menjadi tertutup sebagai angkutan pedesaan.
Kenyataan di lapangan memang demikian termasuk di lingkungan saya tinggal dan bekerja sehari-hari. Mobil bak terbuka yang mengangkut puluhan orang sudah menjadi pemandangan umum. Mobil bak terbuka seperti pickup dan truk menjadi pilihan utama sebagai alat angkut orang dalam jumlah banyak hingga puluhan orang.
Yang paling umum dan mungkin jamak juga terjadi di daerah lain di Indonesia, penggunaan mobil bak terbuka untuk pengerahan massa seperti kampanye atau unjuk rasa. Untuk ini, truk yang yang ukurannya cukup besar menjadi alat angkut yang banyak digunakan sebab dengan biaya yang murah bisa mengangkut massa dalam jumlah besar. Umumnya, truk untuk pengerahan massa seperti kampanye dan unjuk rasa didominasi kaum pria, mulai anak-anak hingga dewasa.
Selain truk, pickup juga banyak digunakan untuk mengangkut rombongan. Meskipun daya angkutnya tak sebanyak truk, masih sering dijumpai pickup dipaksakan untuk mengangkut manusia hingga mereka harus berhimpit-himpitan sambil sesekali menahan nafas karena sempitnya ruang gerak. Tak hanya sekedar menyaksikan, bahkan saya sendiri di masa kecil sudah pernah beberapa kali menikmati sarana transportasi terbuka, murah meriah bahkan gratis itu. Tentu saja waktu itu saya numpang truk dan pickup karena iseng ingin coba-coba dan tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua.
Kebiasaan masyarakat pedesaan beramai-ramai menumpang kendaraan terbuka seperti pickup memang sudah menjadi tradisi. Bepergian rombongan naik kendaraan bak terbuka memang sudah menjadi budaya masyarakat turun temurun. Entah itu rombongan undangan pernikahan, pelayat, pengajian atau bahkan rombongan anak sekolah.
Faktor ongkos angkut menjadi salah satu penyebab mengapa mobil bak terbuka menjadi pilihan masyarakat pedesaan yang kebanyakan bermata pencaharaian petani/buruh tani. Umumnya mereka menyewa pickup dengan sistem urunan/patungan. Semakin banyak yang ikut rombongan maka akan semakin murah biaya yang harus  mereka keluarkan.
Sebagai contoh, untuk ongkos sewa pickup plus driver dari Probolinggo Pasuruan umumnya dipatok harga tertinggi Rp. 250 ribu. Jika satu pickup bisa memuat 20 penumpang, berarti tiap orang harus membayar Rp. 12.500,- jika memuat 25 orang maka biaya yang harus dikeluarkan cukup Rp. 10 ribu, bahkan jika penumpang lebih dari 20 orang akan semakin kecil biaya yang harus mereka keluarkan.
Ongkos tersebut bisa menjadi semakin murah bahkan gratis jika pickup yang digunakan milik keluarga atau tetangga salah satu peserta rombongan. Untuk yang seperti ini, mereka cukup urunan sebagai pengganti BBM saja. Biaya tersebut tentu saja sangat murah jika dibandingkan mereka harus naik kendaraan umum yang bisa jadi harus oper beberapa kali hingga sampai tujuan. Bahkan jauh sangat murah jika dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
Selain faktor biaya yang murah, ikatan persaudaraan yang sangat kuat dan semangat kebersamaan masyarakat pedesaan juga menjadi salah satu faktor mereka milih beramai-ramai naik kendaraan bak terbuka. Posisi duduk hingga berdiri yang berhimpitan tak dihiraukan dengan sesekali saling bertegur sapa, bercanda, saling “ejek” hingga saling colek.
Disamping karena murah dan faktor kebersamaan, pada kasus tertentu ada sekelompok masyarakat yang justru sangat antusias dan bersemangat ikut rombongan pickup, bahkan seperti menjadi suatu kewajiban. Contoh yang khas di Probolinggo adalah rombongan pengajian malam Jum’at Manis. Jumlahnya bisa sampai puluhan pickup memuat puluhan jama’ah didominasi kaum perempuan yang tak jarang membawa serta anak cucunya. Mereka rela dan senang hati duduk hingga berdiri berhimpitan asalkan bisa sampai lokasi pengajian dengan berbagai macam niat, tujuan dan harapannya. 
Meskipun ber-pickup sudah menjadi tradisi dan mereka melakukannya dengan suka rela dan senang hati, namun bukan berarti kita hanya memaklumi dan melakukan pembiaran yang bisa saja berujung malapetaka seperti  kecelakaan maut yang telah terjadi. Dituntut kepeduliaan dan kepekaan semua pihak untuk mencari dan menemukan solusi agar tradisi semacam itu tak lagi berujung maut.
Berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku, sebenarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas pada Pasal 303 dengan tegas menyebutkan : “Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”
Sementara alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 137 ayat (4) adalah : a. rasio kendaraan bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai ; b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
Sebelum terjadinya peristiwa kecelakaan maut di Tongas, SatLantas Probolinggo sebenarnya telah melakukan penindakan pada pickup yang mengangkut orang dan share foto pindakan tersebut di twitter. Jika diperhatikan, foto penindakan sekaligus himbauan dishare tanggal 23 Desember 2013 pukul 08.46 WIB, 5 (lima) hari sebelum kecelakaan maut terjadi. Melengkapi foto juga dicantumkan kutipan Pasal 303 UU No. 22 Tahun 2009.
Jadi undang-undang sebenarnya sudah sangat tegas mengatur peruntukan kendaraan baik untuk angkutan orang maupun untuk angkutan barang. Untuk itu pihak Kepolisian selaku penegak hukum dituntut lebih tegas dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut dan tak segan-segan memberikan tindakan jika memang ditemui pelanggaran. Disamping itu juga perlu kembali dilakukan sosialisasi yang tepat sasaran, terutama kepada pengemudi angkutan barang agar mereka paham betul peruntukan angkutannya dan resiko yang bisa ditimbulkan jika melanggar.
Sebagai orang yang paling menentukan keselamatan berkendera di jalan, pengemudi harus benar-benar paham tentang kewajibannya di jalan. Harus benar-benar tertanam kesadaran tentang pentingnya mengutamakan keselamatan diri sendiri dan orang lain tentunya diawali dengan pemahaman serta pengetahuan yang memadai tentang peraturan berlalu lintas. Untuk itu, Kepolisian selaku pihak yang berwenang harus benar-benar selektif dalam mengeluarkan ijin mengemudi.
Sementara dari pihak warga masyarakat yang sering menikmati jasa angkutan massal yang murah meriah tersebut, hendaknya lebih mementingkan keselamatan daripada ongkos angkut yang murah. Lebih baik mengeluarkan biaya lebih daripada nyawa yang harus dikorbankan. Lebih baik meletakkan sejenak tradisi yang membahayakan agar lebih safety di jalan.
Tapi jikapun karena alasan ekonomi dan tradisi yang sulit dihilangkan, ada baiknya mempertimbangkan ide Pakde Karwo untuk menjadikan angkutan bak terbuka menjadi angkutan pedesaan yang tertutup. Tentunya dengan penutup yang memenuhi standar keamanan untuk menghindari benturan langsung jika terjadi kecelakaan.
Terlepas dari perdebatan bahwa tradisi berpickup tak bisa dihilangkan namun perlu dimodifikasi atau justru harus ditinggalkan sama sekali demi alasan keselamatan, tentunya kita semua berharap peristiwa kecelakaan maut, Sabtu (28/12) yang merenggut 18 korban jiwa jangan sampai terjadi lagi. 

Probolinggo, 31 Desember 2013
 
Follow me on twitter : @Dody_Kasman





Tidak ada komentar:

Posting Komentar