Kecelakaan maut
antara pickup sarat penumpang dengan truk gandeng yang terjadi di Jl. Raya
Tongas Kabupaten Probolinggo beberapa waktu lalu cukup menyita perhatian
publik. Betapa tidak, 18 jiwa melayang pada peristiwa naas tersebut. Yang lebih
memprihatinkan lagi mayoritas korban adalah ibu-ibu dan anak-anak. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara khusus menyampaikan
ungkapan belasungkawa via twitter dan meminta pihak Kepolisian serta
Kementerian Perhubungan untuk memastikan kecelakaan fatal seperti itu tak mudah
terjadi lagi.
Pada peristiwa
tersebut, pickup
yang seharusnya digunakan untuk mengangkut barang justru digunakan untuk
mengangkut penumpang hingga 30 orang. Bisa dibayangkan
betapa sesaknya suasanya diatas pick up saat itu. Terlebih jika pengemudi membawa
kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan tak
mematuhi ketentuan lalu lintas yang ada. Tanpa bermaksud menuduh siapa yang
salah, dari berbagai pemberitaan di media kita bisa menyimpulkan apa yang
menjadi sebab hingga terjadi kecelakaan yang berakibat fatal itu.
Saya sendiri
tergugah untuk ikut memberikan sumbangan pikiran dan pendapat lewat tulisan
ini,
salah satu sebabnya peristiwa tersebut terjadi di daerah saya,
Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo. Selain lokasi kejadian adalah jalur
lalu lintas yang sering saya lewati, ada
satu hal yang cukup menarik untuk dibahas yaitu kebiasaan masyarakat setempat
“ber-pickup”. Ya, pickup telah menjadi sarana angkutan
orang banyak yang menjadi pilihan masyarakat pedesaan di Probolinggo, bahkan di
daerah lain di Jawa Timur.
Bahkan orang
nomor satu di Jawa Timur juga mengakui hal tersebut. Sebagaimana diberitakan detikcom Senin (30/12), usai acara
pengangkatan sumpah dan pelantikan Sekdaprov Jawa Timur di Surabaya, Gubernur Soekarwo
menerangkan bahwa budaya mobil bak terbuka seperti pickup untuk mengangkut orang
banyak sudah menjadi budaya di lingkungan pedesaan di Jawa Timur.
Oleh karena itu
Pakde Karwo pada kesempatan tersebut meminta semua pihak mencari solusi agar
hal serupa tak terjadi lagi. Misalnya dengan melarang dengan tegas pickup
terbuka memuat manusia dan merekayasa pickup tersebut menjadi tertutup sebagai
angkutan pedesaan.
Kenyataan
di lapangan memang demikian termasuk di lingkungan saya tinggal dan bekerja
sehari-hari. Mobil bak terbuka yang mengangkut puluhan orang sudah menjadi
pemandangan umum. Mobil bak terbuka seperti pickup dan truk menjadi pilihan
utama sebagai alat angkut orang dalam jumlah banyak hingga puluhan orang.
Yang paling umum
dan mungkin jamak juga terjadi di daerah lain di Indonesia, penggunaan mobil
bak terbuka untuk pengerahan massa seperti kampanye atau unjuk rasa. Untuk ini,
truk yang yang ukurannya cukup besar menjadi alat angkut yang banyak digunakan
sebab dengan biaya yang murah bisa mengangkut massa dalam jumlah
besar. Umumnya, truk untuk pengerahan massa seperti kampanye dan unjuk rasa
didominasi kaum pria, mulai anak-anak hingga dewasa.
Selain truk,
pickup juga banyak digunakan untuk mengangkut rombongan. Meskipun daya
angkutnya tak sebanyak truk, masih sering dijumpai pickup dipaksakan untuk
mengangkut manusia hingga mereka harus berhimpit-himpitan sambil sesekali
menahan nafas karena sempitnya ruang gerak. Tak
hanya sekedar menyaksikan, bahkan saya sendiri di masa kecil sudah pernah beberapa
kali menikmati sarana transportasi terbuka, murah meriah bahkan gratis itu. Tentu
saja waktu itu saya numpang truk dan pickup karena iseng ingin coba-coba dan
tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua.
Kebiasaan masyarakat pedesaan beramai-ramai menumpang kendaraan terbuka
seperti pickup memang sudah menjadi tradisi. Bepergian rombongan naik kendaraan
bak terbuka memang sudah menjadi budaya masyarakat turun temurun. Entah itu
rombongan undangan pernikahan, pelayat, pengajian atau bahkan rombongan anak
sekolah.
Faktor ongkos
angkut menjadi salah satu penyebab
mengapa mobil bak terbuka menjadi pilihan masyarakat pedesaan yang kebanyakan
bermata pencaharaian petani/buruh tani. Umumnya
mereka menyewa pickup dengan sistem
urunan/patungan. Semakin banyak yang ikut rombongan maka akan semakin murah
biaya yang harus mereka keluarkan.
Sebagai contoh,
untuk ongkos sewa pickup plus driver dari Probolinggo Pasuruan umumnya dipatok
harga tertinggi Rp. 250 ribu. Jika satu pickup bisa memuat 20 penumpang,
berarti tiap orang harus membayar Rp. 12.500,- jika memuat 25 orang maka biaya
yang harus dikeluarkan cukup Rp. 10 ribu, bahkan jika penumpang lebih dari 20
orang akan semakin kecil biaya yang harus mereka keluarkan.
Ongkos tersebut
bisa menjadi semakin murah bahkan gratis jika pickup yang digunakan milik
keluarga atau tetangga salah satu peserta rombongan. Untuk yang seperti ini,
mereka cukup urunan sebagai pengganti BBM saja. Biaya tersebut tentu saja
sangat murah jika dibandingkan mereka harus naik kendaraan umum yang bisa jadi
harus oper beberapa kali hingga sampai tujuan. Bahkan jauh sangat murah jika dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
Selain faktor biaya
yang murah, ikatan persaudaraan yang sangat kuat dan semangat kebersamaan
masyarakat pedesaan juga menjadi salah satu faktor mereka milih beramai-ramai
naik kendaraan bak terbuka. Posisi duduk hingga berdiri yang berhimpitan tak dihiraukan
dengan sesekali saling bertegur sapa, bercanda, saling “ejek” hingga saling
colek.
Disamping karena
murah dan faktor kebersamaan, pada kasus tertentu ada sekelompok masyarakat
yang justru sangat antusias dan bersemangat ikut rombongan pickup, bahkan
seperti menjadi suatu kewajiban. Contoh yang khas di Probolinggo adalah rombongan
pengajian malam Jum’at Manis. Jumlahnya bisa sampai puluhan pickup memuat
puluhan jama’ah didominasi kaum perempuan yang tak jarang membawa serta anak
cucunya. Mereka rela dan senang hati duduk hingga berdiri berhimpitan asalkan
bisa sampai lokasi pengajian dengan berbagai macam niat, tujuan dan
harapannya.
Meskipun ber-pickup
sudah menjadi tradisi dan mereka melakukannya dengan suka rela dan senang hati,
namun bukan berarti kita hanya memaklumi dan melakukan pembiaran yang bisa saja
berujung malapetaka seperti kecelakaan
maut yang telah terjadi. Dituntut kepeduliaan dan kepekaan semua pihak untuk
mencari dan menemukan solusi agar tradisi semacam itu tak lagi berujung maut.
Berpedoman pada
ketentuan hukum yang berlaku, sebenarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009
tentang Lalu Lintas pada Pasal 303 dengan tegas menyebutkan :
“Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut
orang kecuali dengan alasan sebagaimana dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf
b dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”
Sementara alasan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 137 ayat (4) adalah : a. rasio kendaraan
bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis,
dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai ; b. untuk pengerahan
atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
Sebelum terjadinya
peristiwa kecelakaan maut di Tongas, SatLantas Probolinggo sebenarnya telah
melakukan penindakan pada pickup yang mengangkut orang dan share foto pindakan
tersebut di twitter. Jika diperhatikan, foto penindakan sekaligus himbauan dishare tanggal 23 Desember 2013 pukul
08.46 WIB, 5 (lima) hari sebelum kecelakaan maut terjadi. Melengkapi foto juga
dicantumkan kutipan Pasal 303 UU No. 22 Tahun 2009.
Jadi
undang-undang sebenarnya sudah sangat tegas mengatur peruntukan kendaraan baik
untuk angkutan orang maupun untuk angkutan barang. Untuk itu pihak Kepolisian
selaku penegak hukum dituntut lebih tegas dalam
menjalankan amanat undang-undang tersebut dan tak segan-segan memberikan
tindakan jika memang ditemui pelanggaran. Disamping itu juga perlu kembali
dilakukan sosialisasi yang tepat sasaran, terutama kepada pengemudi angkutan
barang agar mereka paham betul peruntukan angkutannya dan resiko yang bisa
ditimbulkan jika melanggar.
Sebagai orang
yang paling menentukan keselamatan berkendera di jalan, pengemudi harus
benar-benar paham tentang kewajibannya di jalan. Harus benar-benar tertanam
kesadaran tentang pentingnya mengutamakan keselamatan diri sendiri dan orang
lain tentunya diawali dengan pemahaman serta
pengetahuan yang memadai tentang peraturan berlalu lintas. Untuk itu,
Kepolisian selaku pihak yang berwenang harus benar-benar selektif dalam
mengeluarkan ijin mengemudi.
Sementara dari pihak
warga masyarakat yang sering menikmati jasa angkutan massal yang murah meriah
tersebut, hendaknya lebih mementingkan keselamatan daripada ongkos angkut yang
murah. Lebih baik mengeluarkan biaya lebih daripada nyawa yang harus
dikorbankan. Lebih baik meletakkan sejenak tradisi yang membahayakan agar lebih
safety di jalan.
Tapi jikapun
karena alasan ekonomi dan tradisi yang sulit dihilangkan, ada baiknya
mempertimbangkan ide Pakde Karwo untuk menjadikan angkutan bak terbuka menjadi
angkutan pedesaan yang tertutup. Tentunya dengan penutup yang memenuhi standar
keamanan untuk menghindari benturan langsung jika terjadi kecelakaan.
Terlepas dari
perdebatan bahwa tradisi berpickup tak bisa dihilangkan namun perlu
dimodifikasi atau justru harus ditinggalkan sama sekali demi alasan
keselamatan, tentunya kita semua berharap peristiwa kecelakaan maut, Sabtu
(28/12) yang merenggut 18 korban jiwa jangan sampai terjadi lagi.
Probolinggo, 31 Desember 2013
Probolinggo, 31 Desember 2013
Follow me on twitter : @Dody_Kasman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar